Menjadi Tamu Presiden: Kebanggaan yang Berujung Kesengsaraan


Siapapun pasti akan merasa terhormat manakala mendapat undangan untuk bisa bertemu dengan Presiden di Istana Negara. Namun, kita mesti perlu waspada dan perlu bekal yang cukup sebelum kita memutuskan untuk hadir. Karena, tanpa persiapan dan bekal yang cukup, kita bisa ‘kapiran’ di sana. Contohnya, seperti yang diberitakan Harian Surya Online berikut ini:

Sebanyak 30 orang penari asal NTT (Nusa Tenggara Timur) yang tampil di acara 17 Agustus-an di Istana Negara telantar nasibnya. Nasib serupa juga dialami oleh Yuni Veronika, 11, peraih medali emas kejuaraan dunia catur pelajar asal Riau.

Para penari dan Yuni tidak bisa pulang ke daerahnya masing-masing, usai mengikuti acara silahturahmi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait perayaan 17-an.
Para penari yang masih duduk di bangku SMA tidak bisa pulang ke kampong halamannya di Kota Lewoleba, Kabupaten Lembata, Provinsi NTT, karena ditinggal pergi oleh ketua panitia dan pimpinan kelompok.

Saat ini sebagian penari itu mengungsi di rumah seorang warga asal NTT di Jakarta, Dominik Walleng, di Kramatjati, Jakarta Timur.Sebagian lagi ditampung di rumah Ketua RT 10/04 Kramatjati, Suparman.

“Rabu pagi ( 20/8 ) lalu, Kepala Dinas P dan K Kabupaten Lembata, yaitu Pak Martin, Didi Lejak sebagai manajer keuangan, dan Madjid Lamahoda, pimpinan kelompok, tanpa sepengetahuan anak-anak langsung pergi dari tempat penginapan. Mereka tidak mau bertanggungjawab, bahkan mereka membawa sisa uang penginapan,” ucap Dominik Walleng, yang ditemui di rumahnya Kamis ( 21/8 ) sore.

Para penari asal NTT ini mulai menginap di Graha Wisata Remaja TMII (Taman Mini Indonesia Indah) sejak tanggal 16 Agustus, sehari sebelum 17-an.

Namun karena ditinggal kabur pimpinan rombongan yang membawa uang sewa penginapan, pihak pengelola Graha Wisata Remaja mengusir mereka setelah beberapa hari diberi kesempatan bertahan di penginapan itu.
“Harusnya sesuai rencana, anak-anak menginap sampai 10 hari dari tanggal 16 hingga 26 Agustus,” ucap Dominik.

Sementara itu, Yuni mengaku kapok untuk menghadiri acara 17-an di Istana Negara setelah pengalaman buruk ini. Peraih medali emas dan perunggu kejuaran catur dunia tingkat pelajar tahun 2008 ini sebetulnya merasa terhormat dan senang bertemu dengan Presiden. “Tapi, jika jadi terlantar seperti ini, saya kapok,” kata Yuni, Kamis ( 21/8 ) siang.

Berbeda dengan para penari NTT, Yuli dan bapaknya Sudirman kehabisan dana karena pihak pengundang, yaitu Depdiknas, tak mau mengganti biaya untuk Sudirman.
“Masak saya harus ke Jakarta sendirian. Kan tak mungkin,” kata Yuli.

Untungnya, pada berita berjalan yang ada di tvOne tadi sore, kabarnya mereka sudah menerima uang transport pulang.

Kisah Sengkon Karta Berulang Kembali?


Pengakuan Ryan bahwa Mr X adalah Asrori klop atau setidaknya tak bertentangan dengan pengakuan Imam Hambali alias Kemat, 26, dan Devid Eko Priyanto, 17, serta Maman Sugianto alias Sugik, 22. Ketiga warga Desa Kalangsemanding, Kecamatan Perak, Jombang, ini sekarang mendekam di LP Jombang. Ketiga orang itu mengaku mereka tidak membunuh Asrori.

Kemat dan Devid kini berstatus terpidana setelah divonis masing-masing 17 dan 12 tahun karena -berdasar fakta-fakta dalam persidangan– terbukti membunuh Asrori. Sedangkan Sugianto berstatus sebagai tahanan titipan Kejaksaan Negeri (Kejari) Jombang karena masih dalam proses hukum dengan dakwaan ikut membantu pembunuhan Asrori. (Surya Online)

Membaca berita ini, ingatan saya ingat akan kasus Sengkon Karta. Sengkon dan Karta, kata blogombal, adalah produk peradilan sesat. Mereka tak membunuh tapi dijebloskan ke bui, dan kalau tak salah justru di penjara mereka berkenalan dengan pembunuh asli, sehingga kebenaran pun terungkap.

Saat itu, Sengkon – Karta sedang menjalani pidana di LP Cipinang karena tuduhan merampok dan membunuh suami-istri Sulaiman – Siti Haya di Cakung Payangan Pondok Gede, Bekasi. Sewaktu Sengkon sedang sekarat di LP Cipinang, seorang narapidana bernama Gunel merasa iba. Dengan jujur dan merasa berdosa ia minta  maaf kepada Sengkon yang harus mendekam di penjara karena perbuatan yang tidak dilakukannya. Gunel kemudian mengaku bahwa ia bersama teman-temannya telah membunuh Sulaiman dan Siti Haya, bukan  Sengkon dan Karta. Pengakuan Gunel, yang masuk LP Cipinang karena kasus lain itu, akhirnya diketahui  media massa. Waktu itu para petinggi hukum dan para pelaksana di lapangan sigap. DPR juga ikut campur tangan. Media massa berpartisipasi aktif. Dan akhirnya Kejaksaan Agung lalu mengajukan Penangguhan Pelaksanaan Menjalani Hukuman bagi Sengkon dan Karta. (apakabar@clark.net)

Sengkon dan Karta, yang masing-masing dihukum 7 dan 12 tahun penjara karena dituduh membunuh Sulaiman dan istrinya di Desa Bojongsari, Bekasi, 1974. Tuduhan itu, kemudian, ternyata melenceng. Didampingi oleh Albert, Sengkon dan Karta mengajukan peninjauan kembali perkara (herziening), dan Mahkamah Agung setuju. Yang disesalkannya, gugatan ganti rugi Sengkon dan Karta kepada pemerintah (Departemen Kehakiman) ditolak. (apakabar@clark.net).

Mudah-mudahan kasus ini tak terulang pada kasus pembunuhan  Mr X atau Asrori. Diperlukan itikad baik dari semua pihak – khususnya aparat kepolisian.

[sumber gambar: Buku Mata Hati 1965-2007. EDITOR: Julian Sihombing. PENERBIT: Kompas (Jakarta, Juni 2007). UKURAN: 29 cm x 29 cm. TEBAL: 299 halaman. HARGA: Rp 400.000, yang saya ambil dari postinganmas blogombal]