TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dulu Pemerintah mendorong rakyat agar tidak lagi memakai minyak tanah dan beralih ke elpiji dengan iming-iming lebih murah dan hemat. Setelah rakyat beralih, dan sudah tergantung ke elpiji, pemerintah seenaknya saja menaikkan harga.
Anggota Komisi VI DPR RI Irmadi Lubis berpendapat bahwa pemerintah telah menjebak rakyatnya sendiri, melalui kebijakan menaikkan harga Elpigi 12 Kg.
“Ini sama artinya menjebak rakyatnya sendiri,” ujar Irmadi Lubis, Jumat (3/1/2014).
Wakil rakyat dari daerah pemilihan Sumut 1 ini juga sangat kecewa, sebab momen menaikkan harga Elpiji ini dilakukan disaat rakyat lengah karena masih suasana tahun baru dan DPR sedang reses.
“Pemerintah (Pertamina) sengaja mengintip saat rakyat lengah dan DPR reses, kemudian menaikkan harga, ” ujarnya.
Irmadi mengingatkan bahwa dampak dari kenaikan harga elpiji itu sangat luas bagi masyarakat. Setiap kenaikan satu rupiah dampaknya sangat dirasakan masyarakat, pascapemerintah menaikkan harga BBM, dan listrik.
TEMPO.CO, Jakarta – Anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat Dewi Aryani menilai kenaikan harga gas elpiji 12 kilogram sekitar Rp 4.000 per kilogram akan mempengaruhi daya beli masyarakat. ” Tidak hanya soal daya beli elpiji, tapi efek domino dari kenaikan itu juga harus menjadi perhatian serius,” katanya ketika dihubungi, Kamis, 2 Januari 2014.
Dewi menuturkan, berapa pun kenaikan harga gas elpiji, hal itu akan membebani masyarakat. Soalnya, situasi ekonomi yang diperkirakan masih sulit pada 2014 ini akan menjadi beban tersendiri.
Ia juga menilai kenaikan harga gas elpiji 12 kilogram ini harus diimbangi dengan penjelasan dan sosialisasi terhadap masyarakat agar tidak terjadi keributan. Selain itu, rasionalitas harga produksi juga harus diselaraskan dengan daya kondisi masyarakat saat ini.
»Pertamina harus transparan menjelaskan untung ruginya. Apa benar kenaikan karena ongkos produksi yang tinggi atau faktor manajemen yang kurang jeli,” kata Dewi.
Sebagai entitas bisnis, menurut dia, Pertamina memang berhak mengatur harga produk dan layanan kepada masyarakat. Namun, badan usaha milik negara ini juga harus melihat kemampuan dan kondisi psikologis penerimaan rakyat terhadap harga. Kebijakan harga oleh Pertamina sebagai BUMN harus melihat variabel-variabel lain di luar komersial.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Labor Institute Indonesia atau Institut Pengembangan Kebijakan Alternatif Perburuhan berpendapat kenaikan harga gas Elpiji 12 kg sebesar 68 persen harus segera dibatalkan.
Sebab, kenaikan tersebut sangat membebani rakyat terutama kalangan pekerja di seluruh Indonesia.
Andy William Sinaga, Koordinator Kampanye Labor Institute Indonesia, mengatakan rakyat Indonesia telah dipaksa menggunakan gas melalui Peraturan Pemerintah No 104 Tahun 2007 tentang konversi penggunaan minyak tanah ke gas.
“Akibat konversi tersebut, sebagian besar rakyat Indonesia sudah menggunakan gas dan meninggalkan penggunaan minyak tanah,” katanya dalam keterangan tertulis, Sabtu (4/1/2014).
Selain itu, kenaikan gas elpiji dikarenakan kerugian PT Pertamina sebesar Rp 7,73 triliun harus dicermati, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus segera mencermati dan melakukan investigasi kepada pejabat Pertamina.
Labor Institute Indonesia juga mengimbau agar Kementerian BUMN segera turun tangan untuk melakukan penilaian kembali kepada unsur direksi dan Komisaris Pertamina dikarenakan kerugian Pertamina yang sangat besar tersebut, yang mengakibatkan kenaikan cukup signifikan harga gas elpiji.
Menurut Andy, bila perlu unsur direksi dan komisaris Pertamina tersebut segera dicopot. Pertamina sebagai BUMN seharusnya memberikan energi yang murah kepada rakyat, bukan terpengaruh dengan harga pasar atau terperangkap dalam pusaran mafia bisnis energi.
Andy mencurigai bahwa kenaikan harga gas elpiji ini sarat dengan kepentingan politik 2014, dan diduga ada permainan mafia bisnis gas di balik kenaikan harga elpiji tersebut.
Dikarenakan, para pemimpin partai politik pendukung pemerintah, tidak keberatan dengan kenaikan harga gas tersebut. Kenaikan tersebut juga terkesan dipaksakan, dan memanfaatkan kelengahan rakyat dalam menghadapi perayaan tahun baru 2014, dan memanfaatkan masa reses anggota DPR RI yang akan bersidang kembali 15 Januari 2014
JPPN – JAKARTA – Politikus Golkar, Bambang Soesatyo menilai kasus kenaikan harga gas elpiji 12 kilogram (kg) awal 2014 menggambarkan tidak adanya kewibawaan manajemen pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Buktinya, ketika mendapat kritikan dari masyarakat atas kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat, pemerintah mengelak bahwa keputusan itu tak bisa dicegah.
“Baik presiden maupun Menko Perekonomian mengatakan kenaikan harga elpiji itu sebagai aksi korporasi Pertamina yang sulit dicegah. Hanya orang bodoh yang percaya pada argumentasi ngawur seperti itu,” kata Bambang dalam keterangan persnya di Jakarta, Minggu (5/1).
Menurut Wakil Bendahara Umum DPP Golkar itu, meskipun Pertamina yang menaikkan harga elpiji, namun kebijakan itu tidak bisa lepas dari pemerintahan SBY. Alasannya, Pertamina merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diatur oleh Undang-Undang.
“Dia (Pertamina) harus tunduk pada pemerintah, khususnya kepada Presiden dan Menteri ESDM sebagai Pembina. Apalagi komoditi yang dikelola Pertamina sangat strategis dalam konteks kepentingan rakyat,” katanya.
Karenanya, Bambang menganggap kalau Presiden SBY dan Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan naiknya harga elpiji 12 Kg sebagai aksi korporasi Pertamina, pernyataan tersebut sarat kebohongan. Kata dia, kenaikan harga itu tidak mendadak, melainkan sudah direncanakan dan diketahui pemerintah.
“Pertamina telah melaporkan rencana kebijakan perubahan harga elpiji 12 Kg kepada Menteri ESDM Jero Wacik. Mekanisme pelaporan ini sesuai dengan Pasal 25 Peraturan Menteri ESDM No.26/2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Elpiji,” ucapnya.
Bambang menjelaskan kenaikan harga elpiji berdampak sangat luas dan signifikan terhadap kehidupan rakyat. Ia memastikan Jero Wacik pasti tidak berani bertindak sendirian sehingga akan berkoordinasi dengan Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Apalagi, ada dampak inflatoir dari naiknya harga gas elpiji. Hatta dan Jero Wacik pasti harus berkonsultasi dengan Presiden SBY sebelum memberi respon final kepada Pertamina.
Dan di Malang, kini tak mudah untuk mendapatkan Gas Elpiji Melon (sebutan elpiji 3 kg). Mesti tunggu satu hingga dua hari untuk bisa memperolehnya.
TEMPO.CO, Malang – Pengguna gas elpiji nonsubsidi ukuran 12 kilogram dan 50 kilogram beralih menggunakan gas subsidi ukuran 3 kilogram. Dengan demikian, terjadi kelangkaan gas elpiji 3 kilogram yang dikenal pula dengan sebutan elpiji melon di banyak lokasi.
“Pelanggan banyak beralih ke tabung gas 3 kilogram karena lebih murah,” kata pemimpin agen gas elpiji PT Gading Mas, Maret Tri Kusnandar, Kamis, 2 Januari 2014.
Harga gas elpiji ukuran 12 kilogram yang semula Rp 80 ribu naik menjadi Rp 130 ribu. Sedangkan harga tabung gas elpiji 3 kilogram sebesar Rp 13.500 per tabung. Rata-rata setiap hari dipasok sebanyak 1.120 tabung ukuran 3 kilogram. Sedangkan distribusi gas elpiji ukuran 12 kilogram sebanyak 400 tabung.
“Kami menerima banyak keluhan dari konsumen,” katanya.
Sementara pengecer gas elpiji di kawasan Klojen, Solihah, mengaku pasokan gas elpiji tersendat sejak dua pekan terakhir. Sebelumnya, setiap pekan ia mendapat kiriman tiga kali. Setiap kiriman tiga kali sebanyak 220 tabung. Namun, kiriman terus berkurang menjadi 100 tabung.