Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan


mendidik-anak.jpgPelbagai kebiasaan balita sebenarnya sudah terbentuk saat mereka masih dalam kandungan. Soal makan, misalnya, pada usia kehamilan 8 minggu, indera perasa mulai muncul pada lidah bayi. Pada minggu ke-12 bayi sudah dapat menelan, dan mengecap rasa pada usia 20 minggu sebelum kelahiran. Sementara itu, ibu-ibu hamil, demi memanjakan selera makannya yang kadang tidak umum, sering hanya doyan makanan jenis tertentu, misalnya bakso, es krim atau permen coklat tadi.

Dalam buku ini (Cara Baru Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan, tulisan F. Rene van de Carr, M.D. dan Marc Lehrer, Ph.D., Penerbit KAIFA, Bandung, 1999) menunjukkan bahwa beberapa kebiasaan baik yang dibentuk secara konsisten oleh ibu-ibu hamil pada dirinya dan bayinya selama kehamilan dapat mengurangi pelbagai kesulitan yang mungkin timbul ketika sang anak sudah lehir kedunia. Secara teratur mendengar irama musik tertentu (atau mendengarkan suara orang mengaji, misalnya) atau berceritera dan berdendang untuk si jabang bayi dalam kandungannya, atau melakukan relaksasi, akan memungkinkan ibu-ibu hamil bisa menjalin komunikasi dan membina hubungan positif dengan bayinya.

Buku ini juga mendemontrasikan cara melakukan pelbagai latihan pralahir (prenatal classroom) yang aman bagi bayi yang dikandung sehingga niscaya akan didapatkan anak yang sehat secara fisik dan cerdas secara emodional. Karya Rene van de Carr dan Marc Lehrer ini merupakan hasil penelitian puluhan tahun di bidang stimulasi pralahir dan sudah teruji pada ibu-ibu hamil.

Jadi bagi para ibu yang lagi hamil ataupun bagi para calon ibu, patut membaca buku ini.

[ Review ini saya ambil dari tulisan saya di sana ]

Membumikan Nilai Etis Wayang Kulit


nilai-etis-wayang.jpgLakon-lakon wayang yang “pakem” maupun yang “carangan”, betapapun asal mulanya dikembangkan dari babon-nya yang Mahabarata dan Ramayana asli India, secara simbolik yang khas wayang mencerminkan pandangan hidup yang Jawa, yang Pancasila, yang Indonesia.

Perwatakan manusia dalam segala aspek dan manifestasinya tersembulkan dengan sangat halus dalam penampilan tokoh-tokoh protagonis maupun antagonis dalam repertoir wayang yang serba luas jangkauannya dan serba dalam jajagannya. Penonton tidak jarang mengindentifikasikan diri dengan wayang yaang dicocoki. Apa yang ditawarkan wayang, apabila diteliti secara kritis, lepas dari chauvinisme yang berlebih-lebihan dan pengagung- agungan masa lalu, akan sangat bermanfaat bagi kehidupan bangsa Indonesia, yang dalam kiprah pembangunannya sedang mencari nilai-nilai yang dapat dipergunakan bagi pembangunan watak bangsa.

Nilai-nilai yang terdapat dalam wayang, oleh sejarahnya yang teramat panjang, merangkum nilai-nilai yang berasal dari sistem etika purba, Hinduisme/Budhisme, Islam, aliran-aliran kepercayaan/kebathinan dan lain-lain. Hazim Amir dalam karya tulisnya (Nilai-nilai Etis dalam Wayang, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1997m Rp 13.800) ini berhasil mengangkat 20 butir nilai etis yang luhur dalam ajaran-ajaran lakon wayang purwa (wayang kulit) disertai contoh pribadi pelakunya. Dikupas secara ilmiah dan jelas, tidak bertele-tele sehingga pembacanya mudah menangkap dan mencernanya.

Bagi orang yang ingin tahu apa yang terkandung dalam ajaran wayang purwa, yang banyak mempengaruhi cara berpikir dan perilaku masyarakat penggemarnya (Jawa), baik yang rakyat biasa maupun para pemimpinnya, buku ini merupakan satu petunjukkan yang berharga.

[ Review ini saya ambil dari tulisan saya di sini ]